Penjelajah James Cameron mewujudkan impiannya ke lantai terdalam Bumi.

OLEH JAMES CAMERON
FOTO OLEH MARK THIESSEN
Sudah lama dia mengimpikan dapat menyelam ke dasar Palung Mariana, tempat terdalam di samudra. Namun, untuk mewujudkannya penjelajah James Cameron harus membuat sendiri wahananya, kapal selam futuristis yang dinamainya DEEPSEA CHALLENGER.

***

Musim badai bergegas datang, sementara waktu beranjak pupus. Amukan laut terus menunda penyelaman James Cameron ke Challenger Deep, titik terdalam dari Palung Mariana, sekitar 11 kilometer di bawah permukaan laut. Saat gelombang air laut mereda, kapten kapal memberi lampu hijau. Cameron masuk ke dalam kapsul kapal selam. Dalam artikel eksklusif ini, dia mengisahkan ketegangan dan keajaiban perjalanannya ke dasar laut.

05.15, 26 MARET 2012 11° 22’ LU, 142° 35’ BT (BARAT-BARAT DAYA GUAM, PASIFIK BARAT)

Dini hari di tengah kegelapan laut. Kapal selam Deepsea Challenger terombang-ambing di­hempas gelombang Pasifik yang bergulung di permukaan. Kami semua terjaga sejak tengah malam, sibuk melakukan pemeriksaan pra-penyelaman selepas beberapa jam tidur gelisah, dan adrenalin mengalir deras di seluruh anggota tim. Ini cuaca penyelaman terburuk saya dalam ekspedisi ini, sejauh ini. Melalui kamera luar, saya dapat melihat dua penyelam di luar kokpit terombang-ambing saat mereka berusaha mem­persiapkan kapal selam ini.

Ruang pilotnya berupa bola baja berdiameter 109 sentimeter, dan saya dijejalkan ke dalamnya seperti sarden dalam kaleng, lutut tertekuk ke atas, sementara kepala saya tertekan oleh kelengkungan kokpit. Saya akan tetap dalam posisi ini selama delapan jam ke depan. Kaki telanjang saya bertumpu di pintu palka baja seberat 180 kilogram yang ditutup dan dikunci dari luar. Saya benar-benar terkurung. Bidang peng­lihatan saya terisi empat layar video, tiga layar menampilkan tayangan kamera eksternal dan satu layar sentuh untuk panel instrumen.

Kapal selam ini menggantung tegak lurus di tengah gelombang, seperti torpedo vertikal yang mengarah ke pusat bumi. Saya memutar kamera 3-D yang berada di ujung lengan horizontal 1,8 meter untuk melihat keadaan kapal selam. Para penyelam bersiap di posisi masing-masing untuk melepaskan kantong pelampung yang terpasang untuk menahannya di permukaan. Sudah bertahun-tahun saya membayang-bayangkan saat ini. Saya juga tidak mengingkari pernah merasa cemas dalam beberapa minggu terakhir, saat memikirkan hal-hal yang mungkin bisa menjadi masalah. Namun, anehnya, saat ini saya merasa sangat tenang.

Sebagai salah satu pe­rancangnya, saya sangat mengetahui semua fungsi dan kekurangannya. Setelah berminggu-minggu berlatih mengoperasikannya, tangan saya dapat meraih kontrol atau sakelar secara refleks. Saat ini tidak ada kecemasan. Yang ada hanya tekad bulat untuk mewujudkan tuju­an kami ke sini, dan keriangan anak kecil untuk menyongsong yang akan terjadi.

Ayo, bung. Saya menarik napas dan meng­ambil mikrofon. “OK, siap untuk mulai turun. Lepas, lepas, lepas!”

Penyelam utama menyentak tali pengikat, melepaskan kantong pelampung. Kapal selam tenggelam seperti batu. Dalam hitungan detik, para penyelam terlihat seperti boneka mainan yang jauh di atas, di permukaan yang bergolak. Mereka kian mengecil dan memudar, kemudian hilang ditelan kegelapan. Instrumen menunjukkan bahwa saya turun dengan ke­cepatan sekitar 150 meter per menit. Setelah se­umur hidup mengimpikannya, tujuh tahun me­ngembangkan kapal selam ini, beberapa bulan konstruksi yang melelahkan, serta stres dan emosi dalam pelayaran ke sini, saya akhirnya menuju Challenger Deep, tempat terdalam di samudra dunia.

05.50, KEDALAMAN 3.810 M, Laju 1,8 METER/DETIK

Saya melewati kedalaman Titanic hanya dalam 35 menit, turun dengan kecepatan empat kali kapal selam Mir Rusia yang digunakan pada 1995 untuk memfilmkan bangkai kapal yang terkenal itu untuk film bioskop. Saat itu, bagi saya Titanic berada di kedalaman terekstrem yang bisa dibayangkan, dan mendatanginya sama eksotisnya dengan pergi ke bulan. Lima belas menit kemudian saya menembus 4.760 meter, kedalaman kapal perang Bismarck.

Saat memeriksa bangkai kapal itu tahun 2002, terjadi letupan implosif lampu sorot dengan kekuatan seperti ledakan granat tepat di luar lambung Mir kami. Itu pengalaman pertama saya me­nyaksikan implosi laut dalam. Jika lambung deepsea challenger tidak kuat, saya tidak akan sempat merasakan apa-apa. langsung gelap. Namun, hal itu tidak akan terjadi.

Suhu luar terbaca 1,7°C, turun dari 30°C di permukaan. Kokpit pilot mendingin dengan cepat, bagian dalamnya sekarang berlapis tetesan embun hasil kondensasi. Kaki telanjang saya yang menempel di baja pintu palka terasa membeku. Dalam ruang sempit ini, perlu beberapa menit untuk mengenakan kaus kaki wol dan sepatu tahan air. Saya mengenakan topi kupluk untuk melindungi kepala dari baja basah dan dingin yang menekan kepala, dan tentu saja, agar terlihat lebih mirip penjelajah.

Di luar gelap-gulita, satu-satunya indikasi gerakan hanyalah partikel plankton tersorot lampu yang berlalu dengan cepat, rasanya seperti mengendarai mobil melintasi badai salju.

06.33, 7.070 METER, 1,4 METER/DETIK 

Saya baru saja melewati kedalaman operasi mak­simum kapal selam berawak terdalam di dunia, Jiaolong dari Cina. Beberapa menit lalu, saya melewati kedalaman maksimumMir Rusia, Nautile Prancis, dan Shinkai 6500 Jepang. Saya menyelam lebih dalam daripada semua kapal selam berawak yang ada saat ini. Semua kapal selam lain itu hasil program yang didanai pemerintah. Torpedo hijau kecil kami dibuat sendiri di kantor swasta yang bertetangga dengan toko grosir material dan bengkel kayu lapis di pinggiran Sydney, Australia. Anggota tim kami, yang kebanyakan belum pernah menangani kapal selam sebelumnya, berasal dari Kanada, Cina, Amerika Serikat, Australia, dan Prancis.

06.46, 8.230 METER, 1,3 METER/DETIK 

Saya baru saja melampaui kedalaman rekor penyelaman solo saya sebelumnya di Palung New Britain, lepas pantai Papua Nugini, tiga pekan lalu. Rasanya luar biasa bahwa saya masih harus menyelam 2.740 meter lagi. Waktu terasa melambat. Saya telah mengerjakan semua bagian dalam daftar penyelaman, dan tak punya kerjaan selama penyelaman panjang dan sunyi ini selain berpikir dan memirsa angka meteran kedalaman yang kian membesar. Desis solenoide oksigen sesekali menjadi suara satu-satunya.

07.43, 10.850 METER, 0,26 METER/DETIK 

Kembali satu jam berlalu, dan kapal selam me­lambat dalam perjalanan 2.740 meter terakhirnya. Saya sudah membuang beberapa balas, bantalan peluru dari baja yang dilepas oleh perangkat elektromagnet—bantalan peluru ini dipakai untuk memperberat kapal selam. Saya hampir “netral”, tidak berat juga tidak ringan, turun sangat lambat hanya dengan mengandalkan gaya dorong. Altimeter menunjukkan bahwa dasar laut masih 46 meter di bawah. Semua kamera beroperasi, lampu-lampu diarahkan lurus ke dasar. Saya men­cengkeram kontrol pendorong dengan tegang sambil menatap layar kosong.

Tiga puluh meter... dua puluh tujuh... dua puluh empat... Seharusnya saya sudah melihat sesuatu. Dua puluh satu... delapan belas... Akhirnya, saya melihat cahaya putih terpantul dari bawah. Dasar laut tampak polos seperti cangkang telur, tak ada ciri khas, tak ada rujukan skala untuk menilai jarak. Saya melakukan pe­ngereman sedikit dengan pendorong vertikal. Lima detik kemudian arus air ke bawah me­ngenai dasar laut, dan kehampaan di bawah saya bergoyang laksana tirai sutra.

Saya masih belum yakin kalau ada permukaan padat. Saya lepaskan tangan sebentar dari tuas kontrol pendorong dan mengarahkan lampu sorot ke samping untuk melihat lanskap dasar laut. Airnya sangat bening. Saya bisa melihat sangat jauh: tak ada apa-apa. Dasar laut ini benar-benar seragam, tak memiliki karakter apa pun selain ketiadaan karakter, dimensi, dan arah. Saya sudah melihat dasar laut berulang kali selama lebih dari 80 penyelaman laut dalam. Tak ada yang seperti ini.

07.46, 10.898,5 METER, NOL METER/DETIK 

Saya menggerakkan kapal sedikit ke bawah, semakin dekat dengan dasar laut. Melalui kamera yang terpasang di lengan kapal, saya melihat kaki wahana melesak sekitar 10 senti­meter sebelum terhenti. Akhirnya sampai juga di dasar. Penyelaman ini memakan waktu dua setengah jam. Kepulan lumpur terhalus yang pernah saya lihat membubung laksana asap rokok, lalu mengambang nyaris tak bergerak. Lalu, terdengar suara dari 11 kilometer di atas saya: “Deepsea Challenger, ini permukaan. Pemeriksaan komunikasi.” Suara itu sayup tetapi terdengar sangat jelas.

Menurut perhitungan kami, komunikasi suara tidak akan sampai ke tempat sedalam ini. Saya melirik pengukur kedalaman dan mengambil mikrofon. “Permukaan, ini deepsea challenger. Saya telah sampai di dasar laut. Kedalaman 10.898,5 meter... alat pendukung dalam keadaan baik, semuanya tampak baik.” Waktu terasa berjalan lambat saat menunggu jawaban saya naik dari dasar dunia dengan kecepatan suara, dan mendapat balasan dari permukaan. “Rojer, dikopi.” Mantan tentara angkatan laut yang menjadi petugas komunikasi bahkan lebih datar lagi. Dasar didikan militer.

Namun, saya bisa membayangkan mereka semua tersenyum lebar dan bertepuk tangan di atas sana. Saya yakin istri saya, Suzy, yang matanya tidak bisa lepas dari layar telemetri, pasti merasa sangat lega. Tiba-tiba saya dipenuhi rasa bangga pada tim ini. Sepuluh ribu delapan ratus sembilan puluh delapan setengah. Saya bulatkan menjadi 11.000 meter saja saat mengobrol dengan orang-orang nanti. Suara yang saya dengar berikutnya benar-benar tidak terduga. “Semoga berhasil, Say,” kata Suzy. Mendengar suaranya, dua dunia saya berbenturan dengan cara yang aneh namun indah.

Suzy selalu mendampingi saya sepanjang ekspedisi ini, dia menyembunyikan kecemasannya dan mendukung saya 100 persen. Saatnya bekerja. Kami berencana hanya lima jam di dasar laut, dan ada banyak hal yang harus dilakukan. Saya memutar kapal, meng­gunakan kamera untuk melihat ke sekeliling di dunia yang baru saya datangi ini. Dasar laut­nya datar dan tampak serupa ke segala arah. Saya menghidupkan peralatan hidrolik, mem­buka pintu luar ke kompartemen sains, lalu menggerakkan lengan manipulator untuk mengambil sampel inti sedimen pertama saya.

Kapal selam ini tidak dibangun hanya untuk membuat rekor penyelaman terdalam. Bagi saya, kapal selam ini juga harus menjadi wahana ilmu pengetahuan. Buat apa menjelajahi tempat paling tak dikenal di planet kita jika tak mampu merekam data dan mengambil percontoh. Setelah sampel inti berhasil dibawa ke kapal, saya meluangkan waktu untuk memotret dari dekat arloji Rolex Deepsea bagi perusahaan Swiss yang bermitra dengan kami dalam ekspedisi ini. Arloji yang terpasang di lengan manipulator itu masih berdetik, meskipun menanggung tekanan 1.147 kilogram per sentimeter persegi. Tahun 1960, sebagai bagian dari proyek Angkatan Laut AS, Lt. Don Walsh dan Jacques Piccard menyelam dalam kapsul laut dalam raksasa Trieste ke kedalaman yang sama, satu-satunya pihak lain yang pernah melakukannya. Mereka juga membawa Rolex yang dibuat khusus, dan arloji itu juga bertahan dalam tekanan ini. Namun, tidak semuanya berfungsi dengan baik.

Beberapa saat setelah saya mengambil gambar arloji itu, terlihat gelembung minyak ber­warna kuning naik ke atas di luar jendela. Sistem hidrolik bocor. Dalam beberapa menit, saya kehilangan semua fungsi lengan mani­pulator, demikian pula dengan pintu kompar­temen sains. Tanpa kemampuan mengambil sampel, tetapi dengan kamera yang masih berfungsi, saya meneruskan penjelajahan.

09.10, 10.897 METER, 0,26 METER/DETIK 

Dengan sedikit tolakan mesin pendorong, saya menuju ke utara melintasi dataran dengan kolam-kolam sedimen, demikian istilah para ahli geologi. Permukaannya mirip hamparan salju yang masih putih merata di lapangan parkir nan luas. Saya tidak melihat ada makhluk hidup di dasar laut, hanya ada amfipoda sekecil kepingan salju yang terlintas sesekali.

Tidak lama kemudian, sampailah saya ke dekat “dinding” palung itu, yang berdasarkan peta sonar multibeam tak benar-benar berbentuk dinding, tapi lebih berupa lereng landai. Semua pengamatan saya sejauh ini dilakukan melalui kamera definisi tinggi. Sesuai niat saya sebelum melakukan penyelaman, saya memutuskan untuk mendaratkan kapal. Perlu waktu beberapa menit untuk memindahkan peralatan yang menghalangi dan memutar badan agar bisa melihat langsung ke luar jendela. Saya menghabiskan beberapa menit untuk menikmati keheningan tempat asing ini. Manusia baru pernah sekali turun ke tempat sedalam ini. Akan tetapi, tempat Walsh dan Piccard menyelam berada 37 kilometer ke arah barat, di bagian lain Challenger Deep yang kini dinamai Vitiaz Deep. Semua dasar laut dalam lain yang pernah saya kunjungi, termasuk dasar Palung New Britain yang sedalam 8.230 meter, penuh dengan jejak cacing, teripang, dan satwa lainnya. Di sini benar-benar tidak ada tanda kehidupan sama sekali.

Permukaannya tak terganggu, dan entah sudah berapa lama dalam keadaan seperti ini. Saya tahu, tempat ini tak benar-benar steril—kami hampir pasti menemukan spesies baru mikroba yang hidup dalam sampel sedimen yang saya ambil sebelumnya. Beberapa ilmuwan dalam tim kami ber­pendapat, kehidupan mungkin memang berasal dari zona hadal (terdalam) nan kelam ini. Muncul sekitar empat miliar tahun lalu, memanfaatkan energi hasil reaksi kimia yang stabil dan lambat yang terbentuk saat lempeng tektonik bergesekan satu sama lain, kemudian melepaskan fluida yang terperangkap.

10.25, 10.877 METER, 0,26 METER/DETIK 

Saya sampai di lereng utara dan bergerak naik menyusuri punggungnya yang agak ber­gelombang. Saya berada sekitar 1,5 kilometer di utara lokasi pendaratan. Sejauh ini tidak ter­lihat ada singkapan batuan. Dalam per­jalanan melintasi dasar palung yang datar, saya menemukan dan mengabadikan dua tanda kemungkinan kehidupan: yang pertama gumpalan agar-agar yang tidak sampai se­kepalan tangan bocah tergeletak di dasar laut, yang lainnya benda hitam sepanjang 1,5 meter yang mungkin sarang sejenis cacing bawah tanah.

Beberapa baterai sudah mulai soak, kompas saya mulai bermasalah, dan sonar telah mati total. Selain itu, dua dari tiga pendorong kanan tidak lagi berfungsi, sehingga kapal selam menjadi lamban dan sulit dikendalikan. Korban tekanan ekstrem mulai berjatuhan. Tiba-tiba, kapal selam terasa berputar ke kanan, dan saya langsung memeriksa status mesin pendorong. Satu-satunya pendorong kanan yang tersisa ternyata rusak pula. Sekarang saya hanya bisa berputar-putar.

Saya tidak bisa mengambil sampel, tidak bisa meneruskan penjelajahan, jadi tidak ada alasan produktif untuk tetap berada di sini. Saya berada di dasar laut kurang dari tiga jam, jauh lebih singkat daripada rencana semula selama lima jam.

10.30, 10.877 Meter, PERCEPATAN menuju TIGA METER/DETIK 

Saat-saat pengaktifan sakelar, untuk melepaskan beban sehingga kapal selam dapat naik, selalu menegangkan. Jika beban tidak lepas, kita tidak bisa pulang. Titik. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merancang mekanisme pelepasan beban, dan teknisi yang membuat dan mengujinya demikian cermat sehingga menjadikannya sistem terandal.

Klik. Terdengar bunyi cetunggg! yang biasa berkumandang saat dua beban masing-masing seberat 243 kilogram meluncur ke luar dan jatuh ke dasar laut. Kapal selam melesat ke atas, dan dasar laut segera menjauh ditelan kegelapan. Seiring meningkatnya kecepatan, sedimen yang terjebak di dalam kompartemen sains bergolak keluar pintu, seperti es yang lepas dari tangki kriogenik saat peluncuran roket Saturnus V. Kapal terasa berguncang-guncang dalam perjalanannya ke atas.

Saya melaju melebihi tiga meter/detik, kecepatan vertikal tertinggi kapal selam ini, dan akan sampai di permukaan dalam waktu kurang dari satu setengah jam. Saya membayangkan perubahan tekanan yang dialami kapal. Rasa lega memenuhi dada saat menyaksikan angka kedalaman yang semakin rendah. Saya sedang dalam perjalanan kembali ke dunia yang penuh sinar surya dan udara, dan ciuman hangat dari belahan jiwa.