Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga saya bisa menjalani
kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini berjudul “Pernikahan Dalam Islam” .
Selanjutnya saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Asep
Shalahudin, S.Ag.,M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Islam 3, yang telah membimbing kami. Dan
kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga
selesai.
Saya mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kesalahan didalamnya.
Saya
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis umumnya dan khususnya bagi pembaca. Amiiin...
Bantul, 8 Januari 2013
Yusuf
Ruliantoko
ARTI PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Apapun arti orang sebutkan tentang pernikahan, ISLAM
memandang sebagai “ Ikatan kuat”, (mithaqun Ghaliiz). Sebuah pengertian tentang
janji dalam arti sepenuhnya ini adalah sebuah janji untuk mengarungi kehidupan
dari masing-masing pasangan. Bermasyarakat dan untuk saling menghargai arti
sepenuhnya dari kelangsungan hidup umat manusia. Ini adalah sesuatu janji yang
di buat antara pasangan pengantin. Yang membuat satu dan lainya lebih baik di
mata Tuhan. Macam-macam dari ikatan perjanjian. Yang mana mereka menemukan
penyelesaian bersama dan realisasi masing-masing yaitu, cinta dan damai,
menbgasihi dan ketentraman, kenyamanan dan harapan. Semua itu merupakan
pengecualian. Didalam islam hal pertama yang paling penting adalah hormat-
menghormati dan tanggungjawab serta kesetiaan dalam hidup rukun.
Pengawasan nafsu dapat berupa keberhasilan dalam
moral. Reproduksi adalah kebutuhan social dalam memaknai akan kesehatan yang
seutuhnya. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam pernikahan islam memiliki
arti khusus dan dapat diperkuat jika mereka saling menjalin pemikiran terhadap
Tuhan. Dan semua itu merupakan poin umama di dalam pernikahan dalm islam,
Dibeberpa ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Disebutkan umat
manusia untuk patuh terhadap tuhan yang menciptakannya dari sebuah jiwa dan
dari itu atau menciptakan pasangan diantaranya, tersebarlah antara laki-laki
dan perempuan untuk mereka cari dalam belahahan dunia. (4: 1) tuhan menciptakan
seorang suami dan diciptakannya kepadanya istri. Agar dapat hidup bahagia
bersamanya, dan semua itu adlah tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dan diciptakannya
untuk laki-laki mereka itu sendiri untuk mencari pasangan dari kelompok mereka
masing-masing, dalam hidup yang damai dan sentosa dan berkumpul bersamanya
dalam cinta dan rahmat, tentu saja di dalamnya pertanda itu agar selalu
direnungkan ( 30:21).
Sesungguhnya didalam pernikahan, akan ada ujian
didalam kehidupanyya, terjadi pertengkaran dan proses pengadilan. Al-Qur’an
mengingatkan kita didlamnya beberapa bagian, memberitahukan kepada mereka, agar
menjadi baik satu sama lain, bermurah hati satu sama lain dan diatas semua itu
adalah kepatuhannya terhadap Tuhan yang maha esa.
PEMBAHASAN
Perkawinan
berasal dari baha arab yaitu nikah dan zawaj yang berarti bergabung. Atau nikah
artinya perkawinan sedangkan aqad berarti perjanjian. Jadi aqad nikah berarti
perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita
dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal. Menurut imam syafi’I
pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan
seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut bahasa nikah adalah
hubungan seksual.[1].
Lafal ijab : “saya nikahkan (maulida farahdila binti Akmaluddin) dengan anak
saya Aulia bin Rahmat dengan mahar 10 gram emas tunai.”. Lafal Qabul :
“saya terima nikahnya Maulida Farahdila binti Akmaluddin dengan mahar 10 gram
emas tunai !”. Jawab para saksi : Sah, sah, sah.
Berdasarkan Hadis-hadis
Rasul:
a. Hadis
Rasul muttafaqun alaihi (sepakat para ahli hadis) atau jamaah
ahli hadis. "Hai pemuda barangsiapa yang mampu
di antara kamu serta berkeinginan hendak nikah (kawin) hendaklah ia itu kawin
(nikah), karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap orang
yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan syahwat."
b. Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasakarena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akanberkurang. (Hadis Rasul jamaah ahli hadis). Hai Jabir, engkau kawin dengan perawan atau janda? Alangkah baiknya kalau engkau kawin dengan perempuan
perawan.
Dari hadis Rasul ini jelas dapat dilihat bahwa Perkawinan itudianjurkan karena berfaedah bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk
rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa denganmelakukan perkawinan itu akan terhindarlah seseorang dari godaansetan, baik godaan melalui penglihatan mata maupun melalui alatkelamin atau syahwat, nafsu dan sebagainya. Apabila engkau tidaksanggup
menikah wajib bagimu puasa untuk dapat terhindar dari godaan iblis yang
terkutuk itu.
Dan janganlah kamu takut atau khawatir
bahwa denganPerkawinan itu kamu akan bangkrut atau miskin atau
terlantar, bahwa dengan melakukan
perkawinan akan dapat lebih meningkatkanprestasi dan menambah semangat
berusaha, bekerja dan dengan sendirinya akan bertambah harta kekayaan di
samping mendapat kenikmatan hidup yang aman dan tenteram.
Definisi dari
Rukn dan Syart
Rukn (jamak:
arkaan) dapat diterjemahkan seperti "tiang" dan adalah satu penting
bagian dari hakikat sah dari sesuatu. Tanpa ini, itu hakikat sah
tidak berada.
Syart (jamak:
shuraat) dapat diterjemahkan seperti "prasyarat" atau
"kondisi" adalah satu kebutuhan untuk hakikat sah / kebenaran dari
sesuatu.
1. Adanya calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akilbaligh);
3. Persetujuan
bebas antara calon mempelai tersebut (tidak bolehada paksaan);
4. Harus ada wali
bagi calon pengantin perempuan;
·
Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
·
Laki-laki. Tidak boleh perempuan
menjadi wali.
·
Muslim, tidak sah orang yang
tidak beragama Islam menjadi wali untuk Muslim dan orang merdeka
·
Tidak berada dalam pengampuan
atau mahjur alaih.
·
Berfikiran baik. Orang yang
terganggu pikirannya karenaketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena
dikhawatirkan tidak Akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
·
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa
besar dan tidak sering terlibat dengan
dosa kecil serta tetap memelihara
muruah atau sopan santun.
·
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Hal ini berdasarkan kepada hadits Nabi dari 'Usman menurut riwayat Muslim yang mengatakan:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yangdiberikan
setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yangadil dan
laki-laki Islam merdeka;
7. Harus ada
upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul
penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab
dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara
seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga).
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupunhanya sekedar
minum teh manis.
9. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengananalog! Q. II:
282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah),kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan Undang-undang No. 22
Tahun 1946 no. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (lihat juga pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (Instruksi
Presiden RI No. 1 Tahun 1991).
firman-Nya dalam surat al-Nur ayat 32:
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orangyang sendirian di antara kamudan orang-orangyang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kami-Nya.
maka secara rinci jumhur ulama menyatakan
hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang
tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnat bagi
orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk
perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisik-nya mengalami
cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib bagi
orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan
memiliki perlengkapan untuk kawin; ia
khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.
d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhiketentuan syara' untuk melakukan perkawinan atau ia yakinPerkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara', sedang-ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupanpasangannya.
e. Mubah bagi
orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan
untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan men-datangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
Ada beberapa tujuan dari disyari'atkannya perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a. Untuk
mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini
terlihat dari surat al-Nisa' ayat 1:
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada
Tuhan-muyangmenjadikan kamu dari diri yang
satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari
keduanya A.llah menjadikan anak keturunan yang banyak,
laki-laki dan perempuan.
a. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang.
Artinya : “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia mencipta-kan untukmu istri-istri darijenismu sendiri, supaya
kamumenemukan ketenanganpadanya dan
menjadikan di antara-mu rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi
tanda-tanda bagi yang berfikir.”
Adapun di antara hikmah yang dapat ditemukan
dalamperkawinan itu adalah menghalangi mata dari melihat
kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara' dan menjaga
kehormatan diri dari terjatuh pada
kerusakan seksual. Hal ini adalah se-bagaimana yang dinyatakan sendiri
oleh Nabi dalam hadits-nya yang muttafaq alaihyang berasal dari
Abdullah ibn Mas'ud, ucapan Nabi:
Artinya : “Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyaikemampuan untuk kawin, maka kamnlah; karena
perkawinan itu lebih
menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari
kerusakan seksual). Siapa yang belum
mampu hendaklah berpuasa; karenapuasa itu baginya akan mengekang syahwat.”
Imam Ghazali membagi tujuan dan
faedah perkawinan kepada lima hal, seperti berikut:
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkanketurunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3. Memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4. Membentuk dan
mengatur rumah tangga yang menjadi basispertama
dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dankasih sayang.
5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupanyang halal,
dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Perkawinan yang dilarang :
1. Nikah
mut'ah adalah perkawinan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu
yang bila masa itu telah datang,
perkawinan terputus dengan sei dirinya. Nikah mut’ah pernah terjadi
pada umat islam dan diridhai Rasulullah namun kemudian nabi melarangnya. Karena
ada persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya masa tertentu. Terdapat
dalam hadist Nabi dari Salamah bin al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya : Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu
perang Khaibar, umrah qadha, tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji
wada’) untuk melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.
2. Nikah tahlil atau muhallil
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah
perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan
orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali
kepada istrinya.
Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si
suami tidak boleh lagi kawin
dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian
bercerai dan habis pula
iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
Artinya : Kemudian jika suami mentalaknya
(setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi baginya kecuali
bila, diatelah kawin dengan suami lain. .
.
Suami yang telah mentalak istrinya tiga kali itu
sering ingin kembali lagi kepada bekas
istrinya itu. Kalau ditunggu cara
yang biasa menurut ketentuan perkawinan, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat
maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan
mengawini bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan
suatu syaf bahwa setelah berlangsung
akad nikah segera diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Ini
berarti kawin akal-akal untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.
kawinan tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah
ditetapkan namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya,
perkawinan itu dilarang oleh Nabi Hal ini terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang
diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan A1-Tirmizi
dan keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang bunyinya:
Artinya : Rasul Allah SAW. mengutuk orang yang
menjadi muh'allil(orang yang menyuruh kawin) dan
muhallal lah (orang yangmelaktikan perkawinan tahlil).
3. Nikah
syigar ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling
menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masing-masing menjadikan pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk
nyatanya ialah sebagai berikut: seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki
lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A
kepadamu dengan mahar saya mengawini
anak perempuanmu yang bernama si
B". Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang
bernama dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B".
Yang tidak terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar yang nyata dan adanya
syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, perkawinan
syigar di larang.
Perkawinan yang di haramkan :
a. mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan
pernikahan untuk selamanya disebabkan:
1. adanya
hubungan kekerabatan.
2. haram
perkawinan karena adanya hubungan perkawinan mushaharah.
3. karena
hubungan persusuan.
b. Mahram ghairu muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku
untuk sementara berarti tidak boleh kawin dalam bentuk tertentu karena sesuatu
hal, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku
lagi. Yaitu
1. memadu dua
orang yang bersaudara.
2. perkawinan
yang kelima.
3. perempuan yang
bersuami atau dalam iddah.
4. mantan istri
yang telah ditalak tiga kali bagi mantan suaminya.
5. perempuan yang
sudah ihram.
6. Perempuan
penzina sebelum bertobat.
7. perempuan
musyrik.
Seseorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dan itu, kecuali
bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa
iddahnya. Dengan begitu
perempuan kelima itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu
selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum
diceraikannya. Pembatasan padaorang ini
berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Nisa ayat 3 :
Artinya : bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anakperempuan, kawinnilah perempuan lain yang kamu
senangi dua, tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang. . .
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan
adanya kawin poligami, yaitu seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang, namun kebolehan itu
tidaklah secara mutlak, tetapi
dengan suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan suatu yang mudah untuk
dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129:
Artinya : Dan kamu tidak akan mampu berlaku
adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin sekali berbuat begitu.
Oleh karena itu, janganlah kamu
terlalu cenderung kepada seorang yang kamu
cintai hingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. . .
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu
kepada hal yang bersifat zahir seperti adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak
bepergian dan hal-hal yang
bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.[2]
Arti talak secara bahasa berarti “lepas dan bebas”.secara istilah menurut
Al-Mahalii adalah :
Artinya : melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan
sejenisnya.
Hukum talak adalah makruh karena bila hubungan pernihakahan
itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kehancuran dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Macam-macam talak :
Dilihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami :
1. talak sunni
yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam
keadaan haif dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
2. talak bid’iy
yaitu talak yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci
namun dalam waktu out telah dicamouri oleh suaminya.
Dilihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan istrinya
:
1. talak raj’iy
yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui
nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah.
2. talak bain
yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali
kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2 macam yaitu :
bain sugra dan bain kubra.
Khulu’ yaitu perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya boleh atau
mubah. Sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 :
Artinya : Jika kamu khawatir bahwa keduanya(suami istri) tidak menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan istri untuk menembus dirinya.
pada dasarnya dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau istri.
Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim
seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
Secara bahasa yaitu berarti punggung. Secara bahasa yaitu
Artinya : “Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya :”engakau bagi saya
seperti punggung ibu saya”.
Secara bahasa berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah”
Secara istilah yaitu “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”. Firman
Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 :
Artinya : kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tenggang waktu
selama empat bulan(lamanya), kemudian jika mereka kembali(kepada istrinya),
maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Penyayang. Bila mereka
berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha mengetahui.
Secara bahasa yaitu saling melaknat. Secara istilah adalahsumpah
suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu
mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian
empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya”.
Secara etimologi, 'iddah yang jamaknya adalah 'idat berartibilangan. Secara terminologi
diartikan:
Artinya : Masa yang mesti dilalui oleh seorang
perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui
bersihnya rahimnya darikehamilan.
Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik
cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani
masa iddah; dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain .
Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat
hikmah diantaranya sebagaimana yang tersebut dalam
definisi tersebut , di atas adalah untuk
mengetahui apakah bekas suami yangmenceraikannya meninggalkan benih
dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat
terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang akan
disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan
kepada suami |untuk berfikir-fikir untuk
kembali berbaik dengan istrinya.
Lama masa iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa
iddah itu adalah sebagai
berikut:
a. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan
telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya :Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kamu danmeninggalkan istri-istri
(hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari . . .
b. Istri yang diceraikan suami sebelum sempat
digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini
dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahiperempuan-perempuan beriman,
kemudian kamu mencerai-kannya sebelum kamu gauli, maka
se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. . .
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku baginya
adalah beriddah 4 bulan 10 hari.
Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk
mengetahui kebersihan rahimnya dari
bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang meninggal itu.
c. Istri yang bercerai dari suaminya, telah
digauli oleh suami nya sedangkan ia masih dalam
masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru' ,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
Artinya: Perempuan-perempuan yang bercerai dari
suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu’.
Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini
menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan bagi ulamaHanafiyah tiga
quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d. Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia
telah digaulisuaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid
atau tidak berhaid sama sekali, maka masa
iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi di antaraperempuan-perempuanmu, jika kamu
ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah
tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid.
e. Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil
iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan
ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Perempuan-perempuan hamil (yang
bercerai dari suaminya)iddahnya adalah melahirkan
anak. . .
Adapun perempuan hamil yang kematian suami,
menurut Jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya, n masanya belum empat bulan sepuluh hari;
dalam yang berlaku baginya
adalah iddah hamil. Sedangkan ulama
lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib, iddahperempuan hamil yang
kematian suami adalah masa yang terpanjang
antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari;
namun bila setelah empat bulan
sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
a. Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang
diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain
sughra atau bain kubra, dia
berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan
hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. dan inilah
pendapat dari Jumhur Ulama.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal
yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan
tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus menjalani masa iddah
di rumah suaminya dan tidak dapat kawin
selama masa itu. Adapun nafkah
dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya
dengan cerai dalam bentuk talak bain.
Secara bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali.
Sedangkan definisinya menurut al-Mahalli ialah:
Artinya: Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yangbukan bain, selama dalam masa iddah.
Sebagaimana perkawinan itu adalah suatu
perbuatan yangdisuruh oleh agama, maka ruju' setelah
terjadinya perceraian pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat
dalam firman allah pada surat
al-Baqarah ay at 23 1 :
Artinya : Dan bila kamu menceraikan istri-istrimu,
lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan car a baik. . .
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah
seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan
dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang
masih belum dewasa atau dalam keadaan
gila tidak sah ruju' yang dilakukannya.
Bila waktu mentalak istrinya ia berakal sehat kemudian dia gila dan
ingin ruju' yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang
menikahkannya adalah walinya.
b. Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan
kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk
cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam
perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.
c. Ada ucapan ruju' yang diucapkan
oleh laki-laki yang akan merujuk.
Di sini tidak diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan memulai.nikah, tetapi hanya
sekedar melanjutkan pernikahan.
Ucapan ruju' itu menggunakan lafaz
yang jelas untuk ruju' .
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad
nikah. Keharusan adanya saksi
ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat
dalam Surat al-Thalaq ayat 2:
Artinya : Bila mereka telah mendekati akhir
masa iddahnya, makarujukilah mereka dengan baik atau
ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan
kesaksian karena A.llah.
Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya
saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh
menggunakan lafaz kinayah,karena
penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang nadir tidak akan tahu niat dalam hati itu.
Pendapat lain yang berlaku di kalangan jumhur
ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju'
itu hanyalah melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan
bukan memulai nikah baru. Perintah
Allah dalam ayat tersebut di atas
bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan menggunakan lafaz kinayah karena
saksi yang perlu mendengarnya
tidak ada[3].
Dasar hukumnya Al Quran surah II ayat 221, yang berbunyi.
Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman,sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita
musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita
mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi
memohon izin kepada Nabi Muhammad saw., agar dia dapat diizinkan menikah dengan
seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang.
Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah
Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q. II: 221. Yang melarang
laki-laki" muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita
muslim menikahi laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan
Al Wahidi)[4]
b. Abdullah
bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya(budak) yang amat hitam. Pada
waktu itu ia marah kepadanya dan
menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada
Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi
budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan
mengejek tindakan Abdullah bin
Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakan-nya. Maka turunlah Q. II: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu
"Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada
wanita musyrik"
Rawahul Al Wahidi dari Assu'udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari
Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul
(asbabun nuzul) dari Q. II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau
pembantu) yang mukmin lebih baikdaripada
menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantikdan menarik (lihat juga Fatwa MUI DKI Jaya tanggal
30 September1986, tentang larangan
perkawinan antaragama).
A.
KESIMPULAN
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, di mana antara suami istri itu harus saling menyantuni,
kasih-mengasihi, terdapat keadaan
aman dan tenteram penuh kebahagiaan baik moral, spiritual dan materil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang padaprinsip
dalam pokok-pokoknya perkawinan itu hendaklah:
1)
Terdapat pergaulan yang makruf
antara suami istri itu dan saling menjaga rahasia masing-masing,
serta saling membantu.
2)
Terdapat pergaulan yang aman dan tenteram gemah ripah
loh jinawi antara suami istri itu (sakinah).
3)
Pergaulan yang saling mencintai
antara suami istri (mawaddah).
4)
Pergaulan yang disertai rasa
santun menyantuni terutama setelah tua mendatang (rahmah).
Hal itu dimungkinkan karena manusia itu
diciptakan Tuhan dari satu zat, dan dari zat itu
pula diciptakan pasangannya serta dari pasangan itu
diciptakan manusia yang banyak ini agar dapat saling berhubungan. Kemudian menjaga pula arhaam (hubungan darah). (Q. IV: 1).
'
Untuk menjaga hubungan darah (arhaam) itu
pula maka diadakan larangan-larangan
perkawinan antara lain:
1) Larangan perkawinan karena
berlainan agama;
2) Larangan perkawinan karena
hubungan darah yang terlalu dekat;
3) Larangan perkawinan karena
hubungan susuan;
4) Larangan perkawinan wanita
yang di li'an;
5) Larangan perkawinan wanita yang telah tertalak
tiga, dan
6) Larangan perkawinan pria yang sudah beristri empat.
Untuk menjaga kemurnian perkawinan itu agar
rumah tangga mereka kelak terdapat kehidupan yang makruf, sakinah,
mawaddah dan rahmah itu diatur pula syarat dan rukun perkawinan untuk sahnya perkawinan itu sebagai berikut:
1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah
dewasa dan berakal;
2) Persetujuan bebas di antara keduanya;
'
3) Adanya wali bagi calon pengantin
wanita;
4) Adanya mahar
yang diberikan oleh calon penjjjantin
kepada calon istrinya.
kepada calon istrinya.
5) Keharusan adanya 2 (dua) orang saksi laki-laki yang Islam dewasa dan adil;
6) Proses ijab
dan qabul, penawaran dan penerimaan oleh calon pengantin perempuan atau walinya serta penerimaan oleh calon pengantin laki-laki;
7) Setelah ijab qabul diadakan pesta perkawinan atau walimah, dan
8) Tilanun nikah (atau pendaftaran Nikah) untuk pembuktian adanya nikah bagi
generasi selanjutnya.
Setelah menjadi suami istri timbul hak-hak dan kewajiban suami istri antara
lain: Hak suami menjadi kepala keluarga, di samping kewajiban memberi
nafkah dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya.
Hak istri menerima nafkah dari suaminya dan berkewajiban mengurus rumah
tangga, suami dan pendidikan anak-anaknya.
Selama berlangsungnya perkawinan Akan terdapat
usaha-usaha untuk melanjutkan bahtera rumah tangga suami istri
tersebut, antara lain tentang kekayaan bersama selama berlangsungnya kehidupan
perkawinan tersebut.
Di sinilah timbul persoalan apakah ada harta bersama antara suami istri
selama berlangsungnya perkawinan?
Ada dua pendapat tentang harta bersama ini:
Pendapat pertama:
Tidak ada harta bersama, kecuali adanya syirkah (perjanjian)
tentang harta bersama dalam perkawinan. Pendapat
ini didukung oleh beberapa putusan Pengadilan Agama di Jakarta.
Pendapat kedua:
Ada harta bersama walaupun tidak ada perjanjian perkawinan dengan harta
bersama, pendapat terakhir ini didukung oleh Sajuti Thalib, S.H., Hazairin dan
beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Persoalan lain timbul bagaimana kalau masih dalam proses perceraian atau
talak belum mempunyai kekuatan hukum pasti (niet-in kracht van
gewijsde), apakah harta bersama dapat dibagi, dijawab oleh putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 29 September 1983 Nomor 207/Ja/82-G,
tidak dapat dibagi harta bersama tersebut.
·
Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat mebentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dunia dan akhirat.
·
Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan dan
pembentukan manusia baru, yang kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan
masadepan yang lebih baik.
·
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera
keluarga, kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami dan
istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah. Amin!
DAFTAR PUSTAKA
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1974,
halaman : 2
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Figh, Bogor :
Kencana, 2003, Halaman : 112.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Figh, Bogor :
Kencana, 2003, Halaman : 124
Saleh K.H Qamaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung
Diponergoro, 1980 halaman 27.
0 komentar:
Post a Comment